Jayapura, Sinarglobalnusantara.com-
27 September 2025 – Setelah melewati badai hukum yang panjang dan melelahkan, PT Crown Pacific Abadi (CPA) kini bertekad untuk menulis ulang narasi perusahaan. Dalam upaya menegaskan kembali integritas dan reputasinya, CPA menggelar konferensi pers di Swiss-Belhotel Jayapura. Acara ini diselenggarakan menyusul putusan kasasi yang mengakhiri saga hukum perusahaan terkait dugaan tindak pidana korporasi dalam aktivitas pengangkutan kayu olahan.
Lika-Liku Perjalanan Hukum
Kasus yang membelit CPA bermula pada 13 Maret 2024, ketika sebuah laporan dari anggota TNI AL menuduh perusahaan menggunakan dokumen palsu. Tanpa menunggu lama, sehari setelah laporan tersebut, Polisi Kehutanan langsung memasang garis polisi di lokasi, tanpa proses klarifikasi dokumen atau koordinasi yang semestinya dengan Korwas PPNS. Sebanyak 32 ret kayu olahan, yang diangkut dari industri menuju TPKO pada 12 Maret 2024, disita sebagai barang bukti oleh PPNS Seksi Wilayah III Jayapura atas nama Dirjen Penegakan Hukum KLHK.
Merespons tindakan yang dinilai tidak prosedural ini, PT CPA mengajukan permohonan praperadilan. Pengadilan Negeri Jayapura, melalui putusan Nomor 4/Pid.Pra/2024/PN Jap, mengabulkan permohonan tersebut dengan menyatakan penyitaan tidak sah dan memerintahkan pengembalian barang bukti. Namun, keputusan ini tidak menghentikan langkah PPNS yang kembali melakukan penyitaan, sehingga kasus terus bergulir hingga ke meja hijau dengan nomor perkara 309/Pid.Sus LHL/2024/PN Jap.
Jaksa Penuntut Umum kemudian mengajukan dakwaan alternatif terhadap PT CPA, merujuk pada:
– Pasal 83 ayat (4) huruf b juncto Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juncto Pasal 37 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
– Pasal 88 ayat (2) huruf a juncto huruf h Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 juncto Pasal 37 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Guncangan Ekonomi dan Kerugian Material
Perkara hukum ini memberikan dampak yang signifikan terhadap stabilitas operasional PT CPA. Penyitaan kayu yang seharusnya siap diekspor menyebabkan terhentinya rantai distribusi, menciptakan ketidakpastian di kalangan mitra bisnis, dan mengikis kepercayaan investor. Akibatnya, beberapa mitra usaha memutuskan menarik diri, yang berujung pada penurunan drastis produktivitas perusahaan selama satu tahun terakhir.
Kerugian material semakin membengkak dengan rusaknya lebih dari 4.000 kubik kayu yang disita akibat lamanya penahanan. Para pengamat ekonomi menyoroti bahwa kasus semacam ini mengirimkan sinyal negatif bagi iklim investasi di Papua, khususnya di sektor kehutanan, di mana kepastian hukum menjadi pilar utama bagi kelangsungan usaha.
Perspektif Hukum dan Penegakan Keadilan
Putusan praperadilan PN Jayapura yang menyatakan penyitaan awal tidak sah menegaskan adanya kelemahan dalam prosedur yang dijalankan oleh PPNS KLHK. Sesuai Pasal 38 KUHAP, setiap penyitaan wajib didasari surat perintah yang sah dan disertai berita acara. Tindakan penyitaan ulang setelah putusan praperadilan ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Sementara itu, dakwaan alternatif yang diajukan jaksa menunjukkan perluasan jerat hukum bagi korporasi, yang harus tetap diimbangi dengan prinsip due process of law demi menjaga kepastian hukum dan iklim investasi.
Suara PT CPA: Menuntut Keadilan dan Pemulihan
Agustinus, SH, selaku Kuasa Hukum PT CPA, menegaskan komitmen pihaknya untuk terus memperjuangkan keadilan. “Kami ingin menegaskan bahwa PT Crown Pacific Abadi sejak awal telah menjalankan usahanya sesuai dengan semua regulasi yang berlaku. Namun, tindakan penyitaan yang tidak prosedural ini telah secara nyata merugikan perusahaan, baik secara hukum maupun ekonomi. Putusan praperadilan sudah jelas menyatakan penyitaan itu tidak sah, namun PPNS tetap mengulanginya tanpa dasar hukum yang kuat,” ujarnya.
Ia juga mendesak pihak-pihak terkait, termasuk oknum aparat negara yang sempat melontarkan pernyataan tidak proporsional di media, untuk segera memberikan klarifikasi dan permintaan maaf secara terbuka. “Kerugian material maupun immaterial yang dialami klien kami sangat besar—mitra kerja mundur, produksi anjlok, dan ribuan kubik kayu sitaan kini kehilangan nilai. Ini adalah bentuk pencorengan harkat dan martabat perusahaan,” tambah Agustinus.
Agustinus lebih lanjut menjelaskan bahwa PT CPA memiliki Sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang membuktikan kepatuhan perusahaan. Berdasarkan pledoi yang disampaikan kuasa hukum dan putusan majelis hakim, seluruh dakwaan penuntut umum dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hakim telah memerintahkan pengembalian kayu milik PT CPA dan kontainer milik PT Putra Selebes, serta pemulihan kedudukan, harkat, dan martabat perusahaan.
Melalui konferensi pers ini, PT CPA berharap agar keadilan dan kepastian hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, sehingga iklim investasi di Papua dapat pulih kembali, dan dunia usaha memperoleh jaminan perlindungan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya secara sah.(SGN/Tokoro)












































Discussion about this post