Simalungun,Sinarglobalnusantara.Com-
Dalam sebuah langkah yang mengejutkan dan memalukan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Simalungun berhasil menginjak-injak kebanggaan dan identitas budaya Simalungun di acara Konsolidasi Nasional (Konsolnas) di Senayan, Jakarta. Bagaimana bisa? Para peserta yang mewakili Simalungun di acara tersebut justru tampil tanpa mengenakan pakaian adat Simalungun, seolah-olah mereka malu atau bahkan tidak peduli dengan warisan budaya yang telah bertahan selama berabad-abad.
Inilah potret nyata dari sebuah lembaga negara yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi dan mempromosikan budaya lokal. Tapi apa yang kita dapat? Sebuah pelecehan budaya yang terang-terangan, di mana KPU Simalungun lebih memilih untuk mengikuti dress code ala Provinsi Sumatera Utara daripada menunjukkan kebanggaan terhadap identitas budaya mereka sendiri.
“Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap leluhur kita! Bagaimana mungkin lembaga sebesar KPU, yang diberi amanah untuk menjaga keutuhan budaya dan tradisi, malah dengan mudahnya mengabaikan simbol budaya yang begitu penting? Mereka jelas-jelas mengirimkan pesan kepada dunia bahwa budaya Simalungun tidak penting,” kecam seorang tokoh masyarakat Simalungun yang enggan disebutkan namanya, karena takut diserang balik oleh orang-orang yang punya kuasa.
Dan apakah KPU Simalungun memiliki alasan yang masuk akal? Tentu saja tidak! Mereka hanya berdalih bahwa dress code tersebut adalah instruksi dari Provinsi Sumatera Utara, seakan-akan instruksi tersebut adalah satu-satunya kebenaran yang harus dipatuhi tanpa pertimbangan. Tapi mari kita jujur, apakah instruksi tersebut benar-benar lebih penting daripada mempertahankan dan memamerkan kekayaan budaya kita di hadapan seluruh Indonesia?
Lalu, apa yang akan kita katakan kepada generasi muda Simalungun? Bahwa identitas dan kebanggaan kita bisa dikorbankan demi “efisiensi” atau “praktis”? Bahwa budaya kita hanyalah hiasan yang bisa dibuang kapan saja demi kenyamanan? Jaserman Saragih, seorang aktivis budaya, memperingatkan bahwa tindakan KPU Simalungun ini tidak hanya merendahkan budaya lokal tetapi juga mengirimkan sinyal bahwa budaya Simalungun tidak lagi relevan. “Jika lembaga sebesar KPU saja tidak peduli, bagaimana kita bisa berharap generasi muda menghargai dan melestarikan budaya kita?” tegasnya.
Jadi, kita dihadapkan pada sebuah dilema: Apakah kita akan terus membiarkan budaya kita diinjak-injak oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungnya? Atau apakah kita akan bangkit, menuntut perubahan, dan memastikan bahwa budaya Simalungun mendapatkan tempat yang layak di panggung nasional?
Masyarakat Simalungun, saatnya kita bertanya: Apa sebenarnya kepentingan KPU Simalungun? Melindungi budaya kita atau sekadar menjalankan acara dengan “efisien”? Jawabannya mungkin sudah jelas, tapi apakah kita akan membiarkan hal ini terjadi lagi di masa depan?.
(SGN/JES)
Discussion about this post