Pematangsiantar,Sinarglobalnusantara.com-
Mengurangi nilai temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI )dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) adalah perbuatan melawan hukum, apalagi menguranginya dengan tidak sepengetahuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan menggunakan jasa auditor lembaga yang tak jelas dasar hukumnya.Begitu sebut Ratama Saragih menanggapi polemik yang terjadi di Kejaksaan Negeri kota Pematang Siantar, jumat( 20/10/2023)
Dengan adanya Pengurangan Nilai Kerugian Negara dari pekerjaan Pembangunan Jembatan VIII STA.13+441 s.d STA 13+436 Sebesar Rp.2.944.381.551 menjadi Sebesar Rp.304 juta oleh jasa auditor dari Politeknik Negeri Medan Tahun Anggaran 2019 sebagaimana di uraikan dalam Laporan hasil Pemeriksaan (LHP) badan Pemeriksa Keuangan (BPK).RI nomor.38.C/LHP/XVIII.MDN/04/2020, tanggal 09 April 2020.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah bagian dari rangkaian pemeriksaan keuangan negara yang sumber hukumnya adalah hukum formil sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 23G unang-undang Dasar (UUD) 1945, bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan Mandiri.
LHP BPK RI merupakan bentuk pertanggungjawaban atas pemeriksaan yang dilaksanakan yang didasarkan pada kriteria yaitu kesesuaian dengan standart akuntansi pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan efektivitas sistem pengendalian intern.
Pasal 35 ayat (1) Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara juncto Pasal 59 ayat (2) Undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan TanggungJawab Keuangan Negara adalah sebagai dasar untuk mengkaji subtansi tentang timbulnya kerugian keuangan negara sebagai Kaidah Hukum didalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dimaksud.
Wewenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian keuangan negara pada hakekatnya berada pada Badan Pemeriksa Keuangan, dalam arti Lembaga Pemeriksa keuangan maupun Akuntan lain tidak berwenang menetapkan Jumlah kerugian keuangan negara tanpa menggunakan atau atas nama Badan Pemeriksa Keuangan alias persetujuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana di amanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang nomor 15 ntahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Putusan Mahkamah Agung nomor 946K/PDT/2011 tanggal 23 Agustus 2011 menguatkan bahwa Penetapan jumlah kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang juga sebagai sumber hukum dalam arti formil sebagai bentuk Yurisprudensi.
“Dengan demikian “kata Pratama Saragih, “Jika penyidik tak menggunakan Hasil Pemeriksaan yang di keluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan BPK RI tanpa sepengetahuan BPK RI apalagi menggunakan jasa lembaga pemeriksa dan atau akuntan lain yang menerbitkan hasil pemeriksaan dengan nilai kerugian yang berbeda dengan BPK RI,padahal Entitas pemeriksaan sama maka itu sudah perbuatan melawan hukum selain Maladministrasi” ujar pemilik sertifikat Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Keuangan Negara ini.
“Sejatinya kasus ini harus di Monitoring dan di Evaluasi oleh Pejabat diatasnya bahkan bila perlu menarik perkaranya ke jenjang lebih tinggi lagi di Propinsi (Kejati SU) atau di Pusat (Kejagung) untuk segera di telaah duduk perkaranya karena kerugian negaranya sangat fantastis” ketus pemegang sertifikat Survei Pengukuran Indeks Indikator Kinerja dan PMPRB Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2023’ ini. (SGN/AG)
Discussion about this post