Asahan, Sinarglobalnusantara.Com-
Desa Perkebunan Air Batu III/IX menggeliat dalam suasana penuh semangat religius pada Minggu pagi. Sahrudi MRP, SH, kepala desa dengan senyuman diplomatis dan karisma politisi kawakan, secara resmi membuka Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-56 dan Festival Seni Qasidah (FSQ) tingkat desa.
Acara ini berlangsung di halaman aula perkebunan yang, meski dihias seadanya, dipenuhi oleh energi kolektif warga yang menggema hingga ke pelosok desa.
Sebelum acara dibuka, panitia bersama para peserta MTQ dan FSQ melangsungkan pawai ta’aruf – parade yang tampaknya lebih dari sekadar prosesi. Anak-anak dan remaja, berpakaian rapi dengan rona kebanggaan, melintasi jalan desa seperti pasukan kecil yang baru saja memenangkan perang melawan apatisme. Dimulai dari depan kantor kepala desa, pawai ini penuh dengan semangat, tawa, dan suara-suara optimisme yang menghidupkan suasana desa yang biasanya sunyi.
“Ini bukan sekadar acara biasa,” ujar Sahrudi dalam pidatonya yang, meski terdengar klise, memiliki nada tulus. “Peningkatan pemahaman dan pengembangan nilai keagamaan adalah bagian dari visi kita. Melalui MTQ dan FSQ ini, kita tak hanya menghidupkan syiar Islam, tetapi juga mengukuhkan cinta kita pada Nabi Muhammad SAW,” sambungnya, dengan nada suara yang mencoba memadukan rasa religius dan semangat politik lokal. Tak lupa, ia mengucapkan terima kasih kepada para undangan yang, seperti biasa dalam acara semacam ini, hadir dalam jumlah yang cukup untuk mengisi kursi-kursi yang telah disiapkan.
Di hadapan awak media, seorang staf desa yang tampaknya telah terbiasa melayani mikrofon, Darlis SRG, menambahkan beberapa poin yang seolah-olah menjadi script wajib bagi acara serupa di seluruh pelosok Indonesia. “Kegiatan ini adalah implementasi dari program Bapak Bupati Asahan, sebuah momentum untuk menjadikan Asahan lebih baik. Kita ingin anak-anak kita tidak hanya sukses di tingkat desa, tetapi juga di kecamatan, bahkan kabupaten.” Ucapannya terdengar seperti mengulang pidato yang sama setiap tahun, tetapi entah bagaimana tetap berhasil memancing anggukan dari hadirin.
Namun, di balik semua kegembiraan ini, ada sesuatu yang terasa mendalam – mungkin ambisi. Desa Perkebunan Air Batu III/IX bukanlah pusat dunia, tetapi pada hari itu, desa ini menjadi panggung kecil untuk menampilkan nilai-nilai religius, kebanggaan lokal, dan – siapa tahu – sedikit upaya politik halus untuk menarik perhatian pihak yang lebih tinggi.
Dan begitulah, dengan membaca Bismillah, Sahrudi membuka acara yang menjadi tradisi sekaligus pernyataan. Desa kecil ini, dengan segala keterbatasannya, sekali lagi berusaha memposisikan diri sebagai bagian dari cerita besar tentang keimanan, kebudayaan, dan cita-cita masyarakat Indonesia.
Seperti biasa harapan menggantung di udara – bersama doa-doa dan harapan tersembunyi yang tak pernah diucapkan dengan lantang.
(SGN- Narlis Siregar)
Discussion about this post